Foto ibu di dalam pigura itu tampak seperti tersenyum padaku. Semalam. Ibu mengenakan kebaya. Wajahnya bulat jernih. Matanya begitu indah. Tetapi itu hanya sebuah foto hitam-putih yang tak mampu berbicara. Ia diam. Senyumnya diam. Ia seperti menatapku. Tapi ia diam. Hanya terdiam.
Sudah berkali-kali Ramadhan, berkali-kali Lebaran, wajah itu tak berwujud lagi dalam pandangku. Tuhan telah membawanya pulang. Dan semalam, aku hanya bisa menatapnya dengan nanar. Aku ingin berkata-kata. Aku ingin mengungkapkan sesuatu yang kurasakan. Sesuatu yang mungkin hanya seorang ibu yang bisa mengerti.
Di saat orang lain masih memiliki ibu di kesehariannya, pada saat Lebaran-nya, kenapa aku harus tidak beribu? Kenapa dia harus pergi secepat ini?
Aku tahu jawabannya. Aku tahu itu suratanNya. Tapi aku sungguh-sungguh tak pernah mampu mengusir kerinduan itu. Kerinduan pada seorang ibu. Air susunya telah membesarkanku, airmata dan darahnya membentuk tulang-tulangku, pikiranku, hidupku…
Kenapa dia harus sudah tak ada di saat aku kepingin berkata aku sudah bisa ini, aku sudah dapat itu, menjadi sesuatu yang pernah diinginkannya terjadi padaku. Sesuatu yang pernah menjadi harapannya.
Kini, di saat satu dua rupiah bisa kukumpulkan, di saat sepotong kebaya mampu kupilihkan untuknya, membawakan makanan kesukaannya, dia justru tiada?
Kenapa dia harus sudah pergi di saat aku ingin—meskipun tak akan pernah cukup—membalas jasa-jasanya?
Di sudut ruang itu, di bawah foto yang kupandangi, di situ dahulu tubuhnya terbujur berselimutkan kain. Tidak ada tangis meledak dari mulutku ketika kusibakkan kain yang menutupi wajahnya. Wajah yang begitu ikhlas. Aku terhuyung ke kamar, dan di sana runtuhlah semua airmata yang kumiliki. Di sana aku menyadari, sejak hari itu, tak kan pernah ada lagi ibu dalam hidupku. Takkan pernah ada lagi jemari yang kucium setiap aku pulang.
Sudah berkali-kali Ramadhan, berkali-kali Lebaran, wajah itu tak berwujud lagi dalam pandangku. Tuhan telah membawanya pulang. Dan semalam, aku hanya bisa menatapnya dengan nanar. Aku ingin berkata-kata. Aku ingin mengungkapkan sesuatu yang kurasakan. Sesuatu yang mungkin hanya seorang ibu yang bisa mengerti.
Di saat orang lain masih memiliki ibu di kesehariannya, pada saat Lebaran-nya, kenapa aku harus tidak beribu? Kenapa dia harus pergi secepat ini?
Aku tahu jawabannya. Aku tahu itu suratanNya. Tapi aku sungguh-sungguh tak pernah mampu mengusir kerinduan itu. Kerinduan pada seorang ibu. Air susunya telah membesarkanku, airmata dan darahnya membentuk tulang-tulangku, pikiranku, hidupku…
Kenapa dia harus sudah tak ada di saat aku kepingin berkata aku sudah bisa ini, aku sudah dapat itu, menjadi sesuatu yang pernah diinginkannya terjadi padaku. Sesuatu yang pernah menjadi harapannya.
Kini, di saat satu dua rupiah bisa kukumpulkan, di saat sepotong kebaya mampu kupilihkan untuknya, membawakan makanan kesukaannya, dia justru tiada?
Kenapa dia harus sudah pergi di saat aku ingin—meskipun tak akan pernah cukup—membalas jasa-jasanya?
Di sudut ruang itu, di bawah foto yang kupandangi, di situ dahulu tubuhnya terbujur berselimutkan kain. Tidak ada tangis meledak dari mulutku ketika kusibakkan kain yang menutupi wajahnya. Wajah yang begitu ikhlas. Aku terhuyung ke kamar, dan di sana runtuhlah semua airmata yang kumiliki. Di sana aku menyadari, sejak hari itu, tak kan pernah ada lagi ibu dalam hidupku. Takkan pernah ada lagi jemari yang kucium setiap aku pulang.
Happy Brithday Bu..semoga di sana ibu mendapatkan tempat yg layak...Amiinn...
ma'afkan semua salah anakmu ya bu...??
MISS U
MISS U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar